• RSS
Riyc's Blog

Wednesday 17 February 2016

Inovasi Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kurikulum sering dijadikan objek penderita. Kebanyakan orang menganggap ketidakberhasilan suatu pendidikan diakibatkan terlalu seringnya kurikulum tersebut berubah. Kenyataannya, perubahan di masyarakat berimplikasi pada perubahan dalam bidang pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan kurikulum bersifat dinamis, harus berubah mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini juga menjadi sebab adanya inovasi kurikulum pendidikan. Inovasi pendidikan dapat terjadi manakala terdapat pendirian mengenai pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Semua perubahan akan membawa resiko, tetapi strategi mempertahankan struktur suatu kurikulum tanpa perubahan akan membawa bencana dan malapetaka, sebab mengkondisikan kurikulum dalam posisi status quo menyebabkan pendidikan tertinggal dan generasi bangsa tersebut tidak dapat mengejar kemajuan yang diperoleh melalui perubahan.

Inovasi kurikulum lahir untuk menjawab masalah-masalah krusial dalam pendidikan. Inovasi dilakukan dengan menggolongkan berdasarkan sistem pendidikan yang menjadi bidang garapannya. Aspek yang dikembangkan yaitu struktur kurikulum, materi kurikulum, dan inovasi proses kurikulum. Lebih lanjut dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai problema pendidikan dasar, upaya perbaikan pendidikan dasar, dan standar nasional pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan inovasi kurikulum?
2. Apa saja problema pendidikan dasar?
3. Bagaimana upaya perbaikan pendidikan dasar?
4. Bagaimana standar nasional pendidikan?

1.3 Tujuan

1. Untuk memahami pengertian inovasi kurikulum.
2. Untuk mengetahui problema pendidikan dasar.
3. Untuk mengidentifikasi upaya perbaikan pendidikan dasar.
4. Untuk mengetahui standar nasional pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inovasasi Kurikulum

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Inovasi diartikan pemasukan satu pengenalan hal-hal yang baru; penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya, yang (gagasan, metode atau alat) (tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1989:333). Secara etimologi inovasi berasal dari kata latin innovaation yang berarti pembaharuan dan perubahan. Kata kerjanya innovo yang artinya memperbarui dan mengubah. Inovasi ialah suatu perubahan baru yang menuju ke arah perbaikan dan berencana (tidak secara kebetulan saja).

Inovasi adalah suatu ide, hal-hal yang praktis, metode, cara, barang-barang buatan manusia, yang diamati atau dirasakan sebagai suatu yang baru bagi seseorang atau kelompok orang (masyarakat). Hal yang baru itu dapat berupa hasil invensi atau diskoveri, yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah. (Syaefudin, udin. 2010: 5).Dengan demikian, maka dapat kita katakan bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah yang dirasakan. Hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanaya masalah yang dirasakan.

Diskoveri (discovery) adalah penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang. Sedangkan Invensi (invention) adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru, artinya hasil kreasi manusia. Benda atau hal yang ditemui itu benar-benar sebelumnya belum pernah ada, kemudian diadakan dengan hasil kreasi baru.

Inovasi kurikulum merupakan usaha yang disengaja untuk melakukan perubahan dengan tujuan untuk memperoleh hal yang lebih baik dalam bidang pendidikan. Inovasi Kurikulum diharapkan membawa dampak terhadap kurikulum itu sendiri. Kurikulum merupakan alat atau instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang ditetapkan. Dimaksudkan “Baru” dalam pengertian tersebut adalah apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima inovasi, meskipun mungkin bukan merupakan hal yang baru lagi bagi orang lain. “Kualitatif” berarti bahwa inovasi itu memungkinkan adanya reorganisasi atau pengaturan kembali dari pada unsur-unsur dalam pendidikan, jadi bukan semata-mata penjumlahan atau penambahan unsur-unsur setiap komponen. Sedangkan “Tujuan” yang dirinci harus jelas tentang sasaran dan hasil-hasil yang ingin dicapai, yang sebisa mungkin dapat diukur untuk mengetahui perbedaan antara keadaan sesudah dan sebelum inovasi dilaksanakan.

2.2 Problema Pendidikan Dasar

Masalah mendasar yang dialami bangsa Indonesia ialah paradigma pendidikansekularisme.Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang dianut bangsa ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.Sistem pendidikan sekular inibanyak melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya.

Selain masalah di atas, berikut beberapa problema pendidikan dasar yang masih sering dijumpai di lapangan.

2.2.1 Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Sebagai tempat belajar-mengajar, masih banyak sekolah yang kondisi fisik bangunannya tidak memenuhi standar. Penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap, tidak adanya tempat beribadah dan laboratorium standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 Atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Dapat diperhitungkan bahwa angka kerusakan di MI lebih tinggi karena pada umumnya kondisi MI lebih buruk daripada SD.

2.2.2 Rendahnya Kualitas Guru
Di Indonesia,masih banyak guru yang belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam Pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 Juta Guru SD/MIhanya 13,8% yang berpendidikan Diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTS baru 38,8% yang berpendidikan Diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

2.2.3 Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.

Dengan adanya UU guru dan dosen Pasal 10, lebih memberikan jaminan kelayakan. Disebutkan bahwa guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.Tetapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.

Permasalahan kesejahteraan guru akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya. Berdasarkan hasil survei dari human development index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka. (Toharuddin, oktober 2005).

2.2.4 Rendahnya Prestasi Siswa
Rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru berdampak pada prestasi siswa yang tidak memuaskan. Pencapaian prestasi Fisika dan Matematika siswa indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends In Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains.

Dalam hal prestasi, pada 15 September 2004 United Nations For Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul human development report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga, posisi indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut laporan bank dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association For The Evaluation of Educational Achievement) di asia timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

2.2.5 Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data balitbang departemen pendidikan nasional dan direktorat jenderal binbaga departemen agama tahun 2000 menunjukan angka partisipasi murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

2.2.6 Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Banyaknyan lulusan yang menganggur menjadi indikator rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

2.2.7 Mahalnya Biaya Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Semakin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya ruu tentang badan hukum pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti undang-undang sistem pendidikan nasional, RUU badan hukum pendidikan, rancangan peraturan pemerintah (rpp) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan rpp tentang wajib belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam pasal 53 (1) uu no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2.2.8 Belum Menghasilkan Life Skill yang Sesuai
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP no.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa: 1) kurikulum untuk SMP/MTS/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.

Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a) Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. b) Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dolakukan melalui: a) Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk meniali perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b) Ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

2.2.9 Pendidikan yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU no.20/2003 dalam pasal 36 tentang kurikulum menyebutkan: (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam PP no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6) Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

2.2.10 Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.

Dalam pp no 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.

Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

2.2.11 Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu SDM pengelola pendidikan secara praktis dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dan sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.

Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada UU No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola manajemen berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang: kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.

Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan.

Sedangkan standar pengelolaan oleh pemerintah (pasal 60) meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standardisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global; pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.

Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasional akan sejalan dengan sekulerisme tersebut. Adanya mekanisme MBS dan otonomi PT sebagaimana disebutkan di atas merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.

2.3 Upaya Perbaikan Pendidikan Dasar

Perbaikan pendidikan dasar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu akan mendorong upaya pemilihan strategi yang dapat diterapkan pada kondisi-kondisi yang terduga maupun tak terduga.Keberhasilan strategi sangat bergantung pada kemampuan dalam kepemimpinan untuk membangun komitmen, menghubungkan strategi dan visi yang tetap, serta kemampuan mengatur sumber-sumber yang mendukung terlaksananya strategi. Berikut ini strategi pengembangan mutu pendidikan dasar menurut M. Azhari (2010):

2.3.1 Kepemimpinan Mutu Sekolah Dasar
Kepemimpinan merupakan sumber daya pokok dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan juga merupakan pola hubungan dan bentuk kerja sama antara orang-orang yang dinamis. Kepemimpinan juga harus mampu memberikan arah rangsangan kepada kelompoknya, demi kemajuan organisasi.Dengan demikian, pemimpin yang memiliki mental kuat dan prima, mampu mengatasi masalah dan tantangan, memiliki visi, dan berani mencoba inovasi sangat dibutuhkan.

Menurut Sallis dengan mengutip pendapat Peter dan Austin pemimpin pendidikan membutuhkan perspektif-perspektif sebagai berikut:a) visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada staf, siswa dan kepada komunitas yang lebih luas, b) menerapka MBWA (management by walking about),c) membuat slogan ”Untuk Para Pelajar ” sama dengan ”dekat dengan pelanggan:” dalam pendidikan, d) otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan, e) menciptakan rasa kekeluargaan, dan f) ketulusan, kesabaran, semangat intensitas dan antusiasme yang merupakan sifat esensial yang dibutuhkan pemimpin pendidikan. .

Sementara itu dalam PP No.19 disebutkan bahwa pemimpin sekolah, harus memiliki kompetensi sebagai berikut : a) Memiliki kualifikasi sebagai pendidik (Pasal 28), b) memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan (Pasal 38), c) Memiliki kualifikasi sebagai pengawas (Pasal 39), d) Memiliki kemampuan mengelola dan melaksanakan satuan pendidikan (Pasal 49), f) Memiliki kemampuan menyusun program (Pasal 52), g) Memiliki kemampuan menyusun perencanaan (Pasal 53).

2.3.2 Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik Sekolah Dasar
Dalam PP No. 19 tahun 2005 Bab VI pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa “pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional”. Kemudian pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa pendidik pada tingkat SD/MI atau bentuk lain yang sederajad memiliki a) kulaifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat(D-IV) atau sarjana S1, b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan c) sertifikat profesi guru untuk SD/MI.

2.3.3 Peningkatan Mutu Kurikulum Sekolah Dasar
Kurikulum adalah sarana dari suatu sistem pendidikan. Banyak persepsi yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana pendidikan dan pengajaran atau program pendidikan. Menurut PP No.25 Tahun 2000 tentang kebijakan kurikulum adalah menetapkan standar nasional yang kemudian dijelaskan dalam GBHN 1999 pemerintah melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk kurikulum berupa versivikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional (kurikulum nasional) dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat (kurikulum muatan lokal).

Melihat keragaman potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam serta kebhinekaan bangsa, kurikulum yang uniform tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas kurikulum; ''dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi merupakan suatu tuntutan. Pada pendidikan dasar tentu ada kurikulum inti untuk memupuk kesatuan bangsa dan memperkuat ketahanan nasional, begitu pula pada pendidikan menengah dan tinggi.

Beban kurikulum sekolah di Indonesia sangat sarat dengan berbagai macam mata pelajaran sehingga sangat mendera peserta didik. Upaya yang diperlukan saat ini ialah dapat membimbing peserta didik untuk menguasai informasi sebanyak dan setepat mungkin.

2.3.4. Pembiayaan Mutu Sekolah Dasar
Dari segi pembiayaan pendidikan, merujuk dari PP No.19 tahun 2005 pasal 62 yang menyebutkan bahwa standar pembiayaan sebagai berikut; 1) Pembiayaan pendidikan terdiri dari atas biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal, 2) Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. 3) Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan, 4) Biaya operasi satuan pendidikan meliputi; a) gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b) Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan c) Biaya operasional pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lain sebagainya.

2.3.5. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dari segi sarana dan prasarana standar yang diamanatkan PP No.19 tahun 2005 pasal 42 yang menyebutkan bahwa standar sarana dan prasarana sebagai berikut: :
  1. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan peralatan lain yang menunjang proses belajar yang teratur dan berkelanjutan.
  2. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang laboratorium, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat ibadah, tempat bermain, tempat rekreasi, dan tempat lain yang menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Dilihat dari pasal di atas, sarana dan prasarana pendidikan merupakan unsur wajib yang menjadi tumpuan terselenggaranya proses pembelajaran yang berkualitas. Hal inilah yang menjadi tugas pihak-pihak terkait untuk mengupayakan sarana dan prasarana yang memadai demi terwujudnya pendidikan yang lebih baik.

2.4 Standar Nasional Pendidikan

Dalam kontes pendidikan nasional Indonesia diperlukan standart yang perlu dicapai di dalam kurun waktu tertentu di dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Hal ini berarti perlu rumusan yang jelas dan terarah mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan adalah dapat berupa tujuan ideal, tujuan jangka panjang, tujuan jangka menengah dan rencana strategis yang terlihat dengan keadaan dan waktu tertentu. Apabila sebagai syarat utama di dalam proses pendidikan adanya rumusan tujuan yang jelas, maka di dalam pencapaian tujuan sementara atau rencana strategis perlu dirumuskan langkah-langkah strategis dalam mencapainya. Langkah-langkah strategis dapat dicapai melalui berbagai kegiatan di dalam proses pendidikan. Apabila tidak ada patokan atau yardstick yang dijadikan pendoman untuk dicapai, maka sudah barang tentu proses pendidikan akan kacau-balau karena tanpa arah.

UUD 1945 telah merumuskan suatu tujuan yang ideal yaitu mencerdaskan kehidupan rakyatnya. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita ideal, yakni menjadikan Warganegara Indonesia yang cerdas. Untuk mengetahui sejauh mana tercapainya manusia Indonesia yang cerdas itu dapat kita lihat di dalam kenyataan sehari-hari di dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia. Manusia Indonesia yang cerdas adalah manusia Indonesia yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan berprestasi sebagai orang bermoral. Moral yang dimiliki manusia Indonesia cerdas pertama-tama adalah sebagai warganegara dari Indonesia yang bersatu. Moral tersebut disinari oleh Pancasila yaitu suatu ikrar bersama dari bangsa Indonesia untuk hidup bersama mencapai cita-cita bersama. (Tilaar,2008:76)

Uraian diatas menunjukan bahwa sistem pendidikan nasional memerlukan standart. Standart tersebut bukanlah standart pengertian yang kaku tetapi standart yang terus menerus meningkat. Standar nasional pendidikan adalah standar yang bergerak maju. Dengan kata lain kualitas pendidikan nasional semakin lama semakin meningkat. Standarisasi pendidikan nasional sangat diperlukan, karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan politik.
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memerlukan patokan (yardstik) untuk menilai sejauh mana warganegara Indonesia itu mempunyai visi yang sama. Pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan negara kesatuan tersebut.

2. Standarisasi pendidikan naional merupakan suatu tuntutan globalisasi.
Di dalam kehidupa global terjadi persaingan yang semakin lama semakin tajam, oleh sebab itu setiap warganegara perlu mengangkat dirinya sendiri di dalam kehidupan yang penuh persaingan. Kehidupan yang penuh persaingan bukan berarti kehidupan yang penuh permusuhan tetapi terus menerus memperbaiki diri dengan meningkatkan kemampuan diri supaya tidak menjadi budak dari bangsa-bangsa lain.

3. Standarisasi pendidikan nasional merupakan tuntutan dari kemajuan (progess).
Setiap negara tidak menginginkan negaranya tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Saat ini Indonesia masih tergolong sebagai egara berkembang. Namun tentunya mempunyai cita-cita untuk meningkatkan martabatnya sebagai negara maju. Untuk menjadi anggota dari negara maju tentunya diperlukan kualitas sumber daya manusianya tinggi, bukan hanya menjadi konsumer dari produk-produk negara maju. Tetapi juga dapat berpartisipasi di dalam meningkatkan mutu kehidupan manusia.

4. Sebagai Negara kesatuan memerlukan suatu penilaian dari kinerja system pendidiklan nasional.
Undang-Undang Dasar kita mengatakan bahwa pemerintah menyusun dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang telah dirumuskan di dalam UU No. 20 Tahun 2003. Sebagai suatu sistem tentunya diperlukan suatu patokan atau ukuran sampai dimana sistem tersebut berhasil atau tidak. Adanya satu system pendidikan nasional termasuk di dalam evaluasinya merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kohesi sosial. Tanpa adanya suatu sitem, lebih-lebih dalam negara Indonesia yang bhinneka, maka tujuan untuk mempersatukan bangsa Indonesia akan menemui kesulitan. Misalnya kebutuhan untuk memiliki, menjaga, mengembangkan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional. Demikian pula setiap kelompok mempunyai kebutuhan untuk menghayati kebersamaan di dalam perjalanan hidup suatu bangsa. Sejarah nasional dan geografi nasional merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap warganegara Indonesia.

Fungsi standart nasional pendidikan adalah untuk pengukuran kualitas pendidikan. Standart tersebut tentunya bukan merupakan ukuran yang statis yang tidak berubah, tetapi semakin lama semakin ditingkatkan. Fungsi standar adalah pemetaan masalah pendidikan. Kelulusan seseorang dari sistem pendidikan bukanlah ditentukan semata-mata oleh Ujian Nasional yang biasanya terpusat, tetapi merupakan suatu proses yang integratif di dalam pendidikan yang mempunyai banyak segi. Fungsi standar nasional pendidikan adalah penyusunan strategi dan rencana pengembangan sesudah diperoleh data-data dari evaluasi belajar secara nasional, seperti UN (Ujian Nasioanal).(Tilaar,2008:106-109)

Standart adalah patokan. Sewaktu-waktu tingkat pencapaian standart tersebut perlu diketahui sampai dimana efektivitasnya. Untuk pengetahuan itu diperlukan sarana-sarana seperti ujian atau evaluasi nasioanal. Ujian nasioanal atau evaluasi nasional tentunya tidak perlu meliputi seluruh standart isi, sebab tetunya hal tersebut meminta biaya dan tenaga yang luar biasa, karena sifatnya sekedar untuk memberikan gambaran peta permasalahan pendidikan secara nasioanal.

Evaluasi mengenai standart nasional pendidikan ternyata pertama-tama terletak pada guru kelas. Guru yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan mengenal sampai dimana peserta didik telah mencapai standart isi atau kurikulum. Hasil dari evaluasi dapat dikombinasikan dengan hasil evaluasi secara nasional meskipun hal tersebut bukan suatu yang mutlak.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Inovasi kurikulum merupakan usaha yang disengaja untuk melakukan perubahan dengan tujuan untuk memperoleh hal yang lebih baik dalam bidang pendidikan. Pada kenyataannya pendidikan mengalami berbagai hambatan, seperti rendahnya kualitas secara fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi siswa, mahalnya biaya pendidikan, dan pendidikan yang belum berbasis pada masyarakat dalam potensi daerah.

Sistem pendidikan nasional memerlukan standart. Standart tersebut bukanlah standart pengertian yang kaku tetapi standart yang terus menerus meningkat. Dengan kata lain kualitas pendidikan nasional semakin lama semakin meningkat. Fungsi standar nasional pendidikan adalah penyusunan strategi dan rencana pengembangan sesudah diperoleh data-data dari evaluasi belajar secara nasional, seperti UN (Ujian Nasioanal).

DAFTAR PUSTAKA
Redo, Saputra. 2012. Inovasi Kurikulum dan Pembelajaran. (Online), http://reventis.blogspot.com/2012/04/inovasi-kurikulum-dan-pembelajaran.html, diakses 16 September 2015.

Ruhimat, Toto. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: PT. Rajagrafindo .

Syaefudin, Udin. 2010. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Tilaar. 2008. Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.