KAJIAN PUSTAKA
Karapan sapi adalah salah satu permainan rakyat Madura. Orang Madura menyebut permainan itu kerabhan sape. Permainan ini melombakan pasangan-pasangan sapi yang dikendalikan oleh seorang “joki” yang disebut penompak. Pasangan sapi itu dilihat dan di ukur kecepatan larinya dalam menempuh jarak sekitar 100-150 meter. Menurut Aries Sudiono (Sinar Harapan, 5-9-1982) permainan ini konon telah ada pada masa raja Arya Wira Raja memerintah kerajaan Madura sekitar abad 1213 M. yang dilakukan oleh sekelompok petani setelah usai masa panen, dengan melombakan pasangan sapi itu dari satu pematang ke pematang sawah.
Sekarang karapan sapi itu di selenggarakan di tempat yang telah disediakan lebih khusus. Permainan ini ada yang di lombakan antar desa untuk tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, atau antar kabupaten yang ada di pulau Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan, Sumenep, Sampang, dan Pamekasan. Sistem pertandingan sudah diatur adanya babak penyisihan dan sampai babak final yang disebut babak peresan. Suatu perlombaan resmi biasanya disediakan hadiah bagi pemenangnya. Menurut Sudiono (1982) pada masa yang lebih akhir, pemerintah setempat mengeluarkan persyaratan di mana sapinya harus asli dari Madura, umur antara 3-7 tahun, berat rata-rata 200 kg dan tinggi 120 cm.
Sapi Madura berbeda dengan sapi wilayah lainnya. Memiliki ukuran kecil dan berwarna kuning kecoklat-coklatan. Menurut ahli peternakan Belanda, sapi Madura merupakan trah khusus. Sekalipun bertubuh kecil--sehingga berdaging sedikit-dan tak menghasilkan susu, sapi Madura sangat cocok untuk alam Madura yang beriklim panas. Oleh karena itu, di masa Belanda dibuat aturan yang melarang masuknya sapi luar ke Madura untuk menjaga kemurnian trah yang mapan. Sapi khas ini pulalah yang menyebabkan tradisi kerapan sapi Madura dapat membudaya dan terus terlestarikan sampai saat ini.
Menurut Glenn Smith, sapi Madura berasal dari perkawinan silang antara banteng local (bos javanicus) dengan jenis Sinhala atau Ceylon dari Zebu yang sudah dijinakkan (bos indicus). Hal ini ditunjukkan dengan adanya sejumlah sapi Madura yang memiliki kulit sangat gelap atau garis hitam yang membujur sepanjang punggung, dan sebagian besar mempunyai kaki putih (tanda-tanda keturunan banteng). Sedangkan darah keturunan Zebu ditunjukkan oleh adanya punuk kecil yang sangat menonjol pada sapi jantan.
KAJIAN TEORI
Kerapan Sapi merupakan salah satu kebudayaan Madura yang sangat digemari oleh masyarakat. Ketika hari pelaksanaan Kerapan Sapi tiba, hampir semua orang Madura baik tua, muda, laki-laki dan wanita hampir pergi untuk menyaksikan Kerapan Sapi. Dalam kejuaraan dapat menemukan yang menang atau yang kalah, semua ini menunjukkan keunikan Kerapan Sapi. Kerapan Sapi juga merupakan tontonan yang sangat menarik di kalangan masyarakat Madura khususnya di kabupaten Sumenep, Kerapan Sapi juga dimaksudkan untuk melestarikan potensi daya tarik wisata budaya serta sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap para pemilik dan penggemar Kerapan Sapi di wilayah khusus di Madura tarutama di Sumenep. Dengan adanya Kerapan Sapi telah menggugah dan menggali nuansa seni yang ada dalam diri manusia. Seni tari, seni musik yang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian acara perlombaan.
1 Nilai Pendidikan
Dalam mambicarakan pendidikan ini yang bersifat umum ini, langkah pertama yang harus kita perhatikan ialah memperjelas pengertian tentang istilah pendidikan. Arti pendidikan secara etimologi: Paedagogie berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata ”PAIS”, artinya anak, dan “AGAIN’ di terjemahkan membimbing, jadi paedagohie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak. Secara definitif pendidikan (Padagogie) diartikan oleh para tokoh pendidikan sebagai berikut:
a) John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
b) Ki Hajar Dewantara
Pendidikan atau mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagianan yang setinggi-tingginya.
c) GBHN
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlasung seumur hidup. Menurut S. Brodjonegoro merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut: Pendidikan atau mendidik adalah tuntunan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan agar dapat memenuhi tugas hidupnya atau dengan cara singkat. Pendidikan adalah tuntutan kepada pertumbuhan manusia mulai lahir sampai tercapainya kedewasaan, dalam jasmaniah dalam usaha dan rohaniah. Dr. Sis Heyster: mendidik adalah membantu manusia dalam petumbuhan, agar ia kelak mendapat kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya dengan tidak menggangu orang lain.
1. Ada pendidik atau pimbingan atau penolong.
2. Ada yang dididik atau si terdidik.
3. Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan.
4. Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang di pergunakan.
Hubungan pendidikan dengan Kerapan Sapi
Kerapan atau Kerapan Sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Pendidikan sangat erat hubungnnya dengan Kerapan Sapi karena mengandung nilai-nilai yang di jadikan sebagai acuan dalam masyarakat yang meliputi kerja keras, kerja sama, dan sportivitas.
Pertama, kerja keras, setiap orang yang ingin mencapai kesuksesan atau berusaha ingin mencapai cita-cita harus bekerja keras. Salah satu pemilik sapi terlebih dahulu harus melatih atau mendidik sapi dengan sabar dan terus menerus agar sapi yang akan di pacu kuat dan tidak gugup ketika masuk ke lapangan yang sesak dengan penonton.
Kedua, kerja sama. Bagian ini merupakan kewajiban yang tidak bisa dilepaskan. Dalam proses perlombaan sapi, harus melibatkan beberapa pihak lain seperti tokang tongko’, tokang gettak, tokang tonja, tokang tambeng dan lain-lain sehingga sapi pacuan itu bisa sampai ke garis finis mendahului yang lain.
Ketiga, persaingan, dalam Kerapan Sapi peserta berusaha keras dengan harapan Sapi pacuannya berlari cepat dan mengalahkan pacuan-pacuan Sapi lain. dalam persaingan yang ketat, tidak boleh ada kecurangan, setiap peserta harus sportive. Tiap peserta tidak boleh curang; peserta harus menerima kekalahan bukan hanya bisa menerima kemenangan saja.
Oleh karena itu Kerapan Sapi sebelum diadu harus di latih terlebih dahulu supaya sapi pacuan ketika masuk di lapangan gugup dan bersaing dengan yang lain sehingga sapi pacuan sampai ke garis finis. Kerapan Sapi secara filosofi yang sangat mendalam. Yaitu untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita perlu adanya satu kekompakan dan kebersamaan. Satu tujuan cita-cita akan tercapai apabila berada dalam satu komando. Joki merupakan gambaran sang komando dengan mengendarai sapi tunggangan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Dengan melintasi garis lurus (sapi berlari lurus), yang dipandu oleh Joki. Diumpamakan, garis lurus tersebut adalah pengejawantahan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan yang lurus.
2 Nilai Sosial
Pengertian masalah sosial memiliki dua definisi ; pertama, menurut umum; kedua, menurut para ahli. Menurut umum atau warga masyarakat, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum adalah masalah sosial. Menurut para ahli, masalah sosial adalah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang berdasarkan atas studi, mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacaun terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.
Batasan yang lebih tegas dikemukan oleh Cohen (1964) bahwa masalah sosial terbatas pada masalah-masalah keluarga, kelompok, atau tingkah laku individual yang menuntut adanya campur tangan dari masyarakat yang teratur agar masyarakat dapat meneruskan fungsinya. Jadi, masalah sosial adalah suatu cara bertingkah laku yang dapat di pandang sebagai tingkah laku yang menentang satu atau norma yang telah disepakati bersama oleh warga masyarakat.
Teori belajar sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam segi interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku dan faktor lingkungan. Teori belajar sosial menenkankan interaksi antara perilaku dan lingkungan yang memusatkan diri pada pola perilaku yang dikembangkan individu untuk menguasai lingkungan dan bukan pada dorongan naluriah.
Kerapan Sapi juga merupakan menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Madura hingga saat ini masih menjadi khazanah kekayaan kebudayaan Madura, sampai saat ini aktivitas karapan sapi masih terus dilanggengkan dan dilestarikan, ia tidak pernah mengalami proses pemudaran yang bisa menghilangkan dan memudarkan kegiatan aktivitas karapan sapi. Keunikan, maupun proses berlangsungnya pacuan karapan sapi memiliki daya tarik tersendiri yang cukup kuat bagi warga masyarakat Madura yang menyaksikannya, maka sudah menjadi hal yang wajar kalau kemudian budaya karapan sapi ini tidak hanya berlangsung di mayoritas penduduknya dihuni oleh warga Madura pendatang. Hal ini yang terlihat masyarakat Lumajang tepatnya di Desa Ranu Bedali. Dengan jumlah mayoritas penduduk warga Madura dan di tambah kepemilikan Kerapan Sapi yang cukup banyak di daerah ini, maka berlangsungnya kegiatan karapan sapi tentu memliki nilai-nilai sosial tersendiri bagi warga, dan di sinilah letak fungsi-fungsi sosial yang ditemukan dalam aktivitas karapan sapi. Meningkatkan solidaritas masyarakat, meningkatnya status sosial masyarakat dan meningkatnya ekonomi masyarakat.
3 Nilai Hiburan
Hiburan adalah segala sesuatu – baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih. Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun berupa permainan bahkan olaha raga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya Kerapan Sapi yang ada di Madura. Mengisi kegiatan di waktu senggang seperti membuat kerajinan, keterampilan, membaca juga dapat dikatagorikan sebagai hiburan.
Hiburan adalah segala sesuatu, baik yang berbentuk kata-kata, benda, tempat atau berilaku yang dapat menjadi penghibur. Di samping sebagai sarana hiburan, pacuan Kerapan Sapi mampu menanamkan kecintaan rakyat terhadap alam dan lingkungannya, memotivasi sekaligus mengangkat rakyat pada tingkat kemakmuran tinggi.
Di wilayah Madura mempertahankan kegiatan tradisonal ini, setiap tahun mengadakan hiburan Kerapan Sapi yang diselenggarakan sekitar bulan Agustus atau September. Acara tahunan tersebut merupakan paling bergengsi karena memperebutkan piala bergilir dan piala tetap Presiden. Dalam perlombaan itu, masing-masing Kabupaten dalam wilayah Madura mengirimkan pasangan sapi terbaiknya. Adapun sapi kerapan yang berhak berlaga dalam arena bergengsi tersebut, merupakan hasil seleksi yang ketat dari masing-masing wilayah Kabupaten. Dengan demikian, pasangan sapi kerapan adalah duta dari masing-masing Kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Masyarakat dari berbagai kalangan, tumpah ruah, berbondong-bondong mengeluh-eluhkan sapi yang berasal dari daerahnya. Hal itu disebabkan adanya ikatan emosional yang kuat antara peserta dan penonton yang berasal dari satu wilayah. Tak mengherankan apabila ajang Kerapan Sapi dijadikan simbol status sosial. Selain itu Kerapan Sapi mampu membangun kebersamaan, mempertautkan kembali tali silaturrahim serta menaikkan pamor suku bangsa Madura.
- Sapi harus mempunyai jenis dan warna Madura atau Madura asli
- Sapi itu harus sehat dan kuat
- Tingginya harus mencapai 120 cm.
- Gigi-giginya harus sudah dicabut.
Adapun ketentuan - ketentuan lain yang diatur dalam setiap perlombaan, adalah :
- Sepasang Sapi Kerapan dinyatakan sebagai pemenang, apabila kaki depan telah menginjak atau melompati garis finis,
- Sepasang sapi harus tetap dinaiki oleh seorang joki, mulai dari start sampai finis .walaupun sepasang Sapi Kerapan telah sampai ke garis finis, tetapi tanpa joki (sebab jatuh di tengah arena), akan dinyatakan kalah,
- Setiap joki diberi selempang dengan warna berbeda,
- Untuk mendapatkan pemenang, diadakan babak penyisihan. Yang menang dimasukkan dalam satu pool pemenang, demikian pula yang kalah. Untuk babak berikutnya, pemenang akan diadu dengan pemenang, yang kalah diadu dengan yang kalah. Sehingga setelah acara perlombaan usai, maka akan di dapat pemenang sebanyak 6 pasang, yaitu juara I, II dan III dari golongan pemenang dan juara I, II dan III dari golongan kalah,
- Perlombaan dimulai apabila petugas pemegang bendera di garis start melambaikan bendera dari arah bawah ke atas.
Adapun tugas dan tanggung-jawab dewan juri, antara lain :
- Beberapa anggota dewan juri bertugas di garis finis, untuk meneliti kaki sapi yang pertama kali menginjak atau melompati garis finis,
- Di atas panggung ada beberapa anggota dewan juri, sebagai dewan hakim yang berwenang memutuskan sapi pemenang dengan memegang bermacam bendera dan bertugas
- Mengacungkan warna bendera yang sama dengan selempang joki pasangan sapi yang dinyatakan sebagai pemenang.
Antraksi di arena Kerapan Sapi sangat menegangkan, mengasyikkan sekaligus sangat menakjubkankarena ketika sapi di lepas di tengah arena dengan berpacu kecepatan tinggi, setelah sampai di garis finis harus di tahan laju kencangan larinya, supaya sapi tidak tidak menabrak dan menimbulkan korban berjatuhan. Dari arena dapat di saksikan kemahiran atau kepiawaan joki dalam mengendalikan laju sapi tunggangannya dan juga kemahiran serta ketangkasan para petugas dalam mengendalikan perlombaan tersebut. Dan dapat dilihat pula, betapa mahir para pelatih hewan dalam menanamkan disiplin yang tinggi pada sapi-sapinya.
4 Nilai Religi
Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman yang dipandang mempunyai nilai tinggi yaitu, pengabdian kepada suatu kekuasaan yang di percayai sebagai suatu yang menjadi aal mula segala sesuatu, kemudian yang menambah melestarikan nilai-nilai serta sejumlah ungkapan yang sesuai dengan urusan pengabdian tersebut, baik dengan jalan elakukan upacara yang simbolis maupun yang melalui perbuatan yang bersifat perseorangan ataupun secara bersama-sama.
Agama adalah petunjuk bagi manusia untuk membedakan mana yang baik-buruk, benar-salah, dan indah-jelek, petunjuk itu berasal dari tuhan yang dapat membuktikan keberadaan melalui etika, logika dan estetika, pembawa berita-Nya di sebut dengan nabi (Awatara) dan petunjuk yang diberikan disebut dengan kitab suci yang berisi kumpulan Firman Tuhan Yang Maha Kuasa.
Orang-orang yang memiliki paham untuk memisahkan nilai-nilai luhur agama dari kehidupan keseharian, termasuk dengan kehidupan ilmu pengatahuan, disebut sebagai pahan sakularisme, sedangkan orang yang dikenal sebagai ilmuan sekuler. Selain itu tidak sedikit pula ilmuan yang beranggapan bahwa puncak perenungan dan pemikiran terdalam seorang ilmuan adalah Tuhan. Karena ilmuan memikirkan awal dari segala yang menciptakan pengaturan alam raya. Dalam peri kehidupan yang multidimensional ini, lalu kita menemukan budi, akal yang tampak bagaikan secara sengaja ada yang memprogram, yang tidak boleh tidak berasal dari sesuatu Yang Maha berkehendak.
Dalam agama Kerapan Sapi merupakan sebuah penyiksaan pada pasangan sapi karapan saat berlomba di lapangan. Mempacok pantat sapi dengan paku dan mengoleskan cabe dan balsem ke kedua matanya agar larinya kencang, akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang biasa dilakukan.
Tontonan penyiksaan dengan pantat sapi yang berdarah-darah saat karapan berlangsung seolah sudah menjadi kebiasaan, meski banyak kalangan yang memprotes cara-cara yang tidak manusiawi tersebut. Sejumlah ulama di Madura telah mengeluarkan ketentuan haram, praktik penyiksaan dalam pelaksanaan karapan sapi di Madura ini. Salah satunya seperti yang disampaikan tokoh ulama Madura, K.H. Munif Sayuti. Ia menjelaskan, agama Islam sangat menentang keras praktik penyiksaan. Baik terhadap sesama manusia ataupun terhadap hewan. Oleh karenanya, kata Munif, pihaknya meminta kepada para pemangku kebijakan di Madura ini agar melarang keras praktik penyiksaan dalam karapan sapi yang selama ini biasa dilakukan. Kata KH. Munif Sayuti, ”caranya dengan melarang keras adanya bentuk penyiksaan di area karapan sapi atau menganggap kalah bagi mereka pemilik sapi yang tetap melakukan penyiksaan. Kalau tidak seperti itu, penyiksaan akan tetap berlangsung di Kerapan Sapi,” katanya. Sebagai sebuah khazanah budaya di Madura, Munif menganggap karapan sapi memang perlu dilestarikan.
Apalagi dalam sejarahnya, karena sapi dulu merupakan syiar Islam oleh para ulama dalam mengembangkan ajaran agama Islam di Pulau Garam Madura.
“Dari sisi budaya, itu tidak masalah. Namun yang bermasalah adalah praktik penyiksaan yang dilakukan pada saat pelaksanaan karapan sapi”
PEMBAHASAN
Kerapan Sapi merupakan ajang lomba balapan sapi yang diadakan di lapangan terbuka untuk memeriahkan keberhasilan panen di Pulau Madura. Namun dalam perkembangannya, Kerapan Sapi tidak sekadar menjadi ajang adu cepat lari pasangan sapi, tetapi sudah menjadi adu gengsi, prestise dan harga diri bagi pemilik sapi kerapan. Kerapan Sapi merupakan acara khas masyarakat Madura yang di gelar setiap tahun.
Arena ini menjadi pesta rakyat yang digunakan beberapa tokoh masyarakat untuk memamerkan sapinya. Jika seseorang menerima penghargaan di ajang ini, harga diri dan status social tokoh tersebut menjadi naik dan dihormati di lingkungan masyarakat. Dalam lomba Kerapan Sapi ini, si pemilik sapi kerap rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memelihara sapinya agar dapat menang dalam Kerapan Sapi ini. Beberapa cara dilakukan untuk memelihara sapi agar terlihat sehat, kuat dan elok dipandang.
1 Asal Usul Karapan Sapi
Kata kerapan berasal dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas bersama-sama atau berbondong-bondong. Ada pula anggapan lain yang menyebutkan bahwa kata kerapan berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti persahabatan. Dalam pengertiannya yang umum sekarang kerapan adalah suatu atraksi lomba kecepatan sapi yang dikendarai oleh joki dengan menggunakan kaleles.
Lahirnya kerapan sapi di Madura nampaknya sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang luas di Madura. Tanah-tanah pertanian itu dikerjakan dengan bantuan binatang-binatang peliharaan seperti sapi dan kerbau. Karena banyaknya penduduk yang memelihara ternak, maka lama kelamaan muncullah pertunjukan kerapan sapi.
Ada dugaan bahwa kerapan sapi sudah ada di Madura sejak abad ke 14. Disebutkan ada seorang kyai bernama Kyai Pratanu pada jaman dulu yang telah memanfaatkan kerapan sapi sebagai sarana untuk mengadakan penjelasan tentang agama Islam. Oleh sebab itu ajaran-ajarannya yang filosofis dihubungkan dengan posisi sapi kanan (panglowar) dan sapi kiri (pangdalem) yang harus berjalan seimbang agar jalannya tetap “lurus”, agar manusia pun dapat berjalan lurus.
Cerita lain mengatakan, pada abad ke-14 di Sapudi memerintahkan Panembahan Wlingi. Ia banyak berjasa dalam menanamkan cara-cara berternak sapi yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Adi Poday. Sang putra lama mengembara di Madura daratan dan ia memanfaatkan pengalamannya di bidang pertanian di Pulau Sapudi sehingga pertanian semakin maju.
Karena pertanian sangat maju pesat, maka dalam menggarap lahan itu para petani seringkali berlomba-lomba untuk menyelesaikan perkerjaannya. Kesibukan berlomba-lomba untuk menyelesaikan pekerjaan itu akhirnya menimbulkan semacam olahraga atau lomba adu cepat yang disebut karapan sapi.
2 Macam-Macam Karapan Sapi
Di Madura dijumpai beberapa macam “kerapan sapi” yang memberikan klasifikasi kepada jenis dan kategori peserta karapan tersebut. Berbagai macam karapan sapi itu adalah sebagai berikut:
Kerapan jenis ini diadakan pada tingkat kecamatan atau kewedanaan. Para peserta adalah yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Sapi kerap dari luar tidak diperbolahkan turut serta. Jarak tempuh hanya 110 meter. Dalam kategori ini yang diutamakan adalah kecepatan dan lurusnya. Kerap keni ini biasanya diikuti oleh sapi-sapi kecil dan baru belajar. Pemenangnya merupakan peserta untuk mengikuti kerap raja.
Kerapan besar ini disebut juga kerap negara, umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Ukuran lapangan 120 meter. Pesertanya adalah juara-juara kecamatan atau kewedanaan.
3. Kerap Onjhangan (Kerapan Undangan)
Kerapan undangan adalah pacuan khusus yang diikuti oleh peserta yang diundang baik dari dalam kabupaten maupun luar kabupaten. Kerapan ini diadakan menurut waktu keperluan atau dalam acara peringatan hari-hari tertentu.
4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesdenan diadakan di kota Pamekasan pada hari Minggu, merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5. Kerap jhar-ajharan (kerapan latihan)
Kerapan latihan tidak tertentu harinya, bisa diadakan pada setiap hari selesai dengan keinginan pemilik atau pelatih sapi-kerap itu. Pesertanya adalah sapi lokal.
Persyaratan sapi-kerap tidaklah banyak, asalkan sapinya kuat dan diberi makanan yang cukup, dilatih lari, dipertandingkan dan diiringi dengan musik saronen. Konon beberapa pemilik sapi-kerap juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra serta sajian tertentu. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dalam aturan sebuah lomba atau kerapan.
6. Pelaksanaan Kerapan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan, berparade agar dikenal. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi karena sudah ditambatkan, juga merupakan arena pamer akan keindahan pakaian/hiasan sapi-sapi yang akan berlomba. Sapi-sapi itu diberi pakaian berwarna-warni dan gantungan-gantungan genta di leher sapi berbunyi berdencing-dencing. Setelah parade selesai, pakaian hias mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Maka dimulailah babak penyisihan, yaitu dengan menentukan klasemen peserta, peserta biasanya pada babak ini hanya terpacu sekedar untuk menentukan apakah sapinya akan dimasukkan “papan atas” atau “papan bawah”. Hal ini hanyalah merupakan taktik bertanding antarpelatih untuk mengatur strategi.
Selanjutnya dimulailah ronde penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam ronde-ronde ini pertandingan memakai sistem gugur. Sapi-sapi kerap yang sudah dinyatakan kalah tidak berhak lagi ikut pertandingan babak selanjutnya. Dalam mengatur taktik dan strategi bertanding ini masing-masing tim menggunakan tenaga-tenaga trampil untuk mempersiapkan sapi-sapi mereka. Orang-orang itu dikenal dengan sebutan:
- Tukang Tongko’: joki yang mengendalikan sapi pacuan;
- Tukang Tambeng: orang yang menahan kekang sapi sebelum dilepas;
- Tukang Gettak: orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba sapi itu melesat bagaikan abak panah ke depan;
- Tukang Tonja: orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi agar patuh pada kemauan pelatihnya;
- Tukang Gubra: anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapinya dari tepi lapangan. Mereka tidak boleh memasuki lapangan dan hanya sebagai suporter.
Demikian sekilas tentang Kerapan Sapi di Madura yang sudah merupakan acara hiburan tradisi yang masih lestari sebagai konsumsi wisatawan, tetapi juga telah membawa akibat positif bagi masyarakat Madura di bidang ekonomi, kreatifitas budaya dan sekaligus juga telah melestarikan penghargaan masyarakat terhadap warisan budaya nenek moyang
3 Pihak-Pihak yang Terlibat
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
4 Pelaksanaan Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.
5 Nilai Budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
KESIMPULAN
Sejumlah uraian di atas menunjukkan bahwa kerapan sapi masa kini berbeda jauh dengan di masa lampau. Kerapan sapi masa kini telah bergeser jauh dari tradisi aslinya, tercerabut dari akarnya. Bergeser dari yang semula kesenian ke komersialisasi, dari festival ke bullraces. Pergeseran orientasi tersebut menjadikan kerapan sapi masa kini sarat dengan sisi negatif, misalnya; pertama, unsur penyiksaan terhadap binatang sangat kentara, dipertontonkan (oleh joki) dihadapan ribuan pengunjung sambil diiringi tepuk tangan meriah penonton. Menyiksa binatang jelas merupakan perbuatan tak manusiawi, anarkis, amoral, bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya Madura yang andep asor, dan bertentangan dengan ajaran agama. Kedua, biaya pemeliharaan sapĂȘ kerrap sangat berlebihan dan terkesan boros, mengalahkan biaya hidup pemilik dan keluarganya. Ketiga, arena kerapan sapi biasanya menjadi ajang empuk bagi para petaruh. Antara kerapan sapi dan taruhan/judi bagai gula dan semut. Di mana ada kerapan mesti ada taruhan/judi.